Selasa, 30 September 2014

HUKUM IKHTILAT

HUKUM IKHTILAT

1.    Definisi
          Ikhtilath menurut bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu[1]. Sedangkan secara istilah Ikhtilath artinya adalah bertemunya laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara laki-laki dan wanita itu (misal bicara, bersentuhan, berdesak-desakan, dll)[2]
2.    Hukum ikhtilat
Ikhtilat adalah perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan termasuk perkara yang sangat berbahaya yang Allah subhanahu wata’ala telah memperingatkan kaum muslimin dari padanya, karena ikhtilat antara dua jenis –laki-laki dan wanita-merupakan sebab yang terbesar dan yang paling mudah untuk mengantarkan pada perbuatan fahisya (yakni zina). Padahal Allah berfirman :
“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji, dan merupakan jalan yang buruk.” (Al-Israa’ : 32).

Dan yang paling berbahaya dari ikhtilat adalah khalwat yakni bersendirian/bersepi-sepinya laki-laki dan wanita yang bukan mahram di satu tempat, karena khalwt merupakan jalan masuknya syaithan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wsallam bersabda :
“Tidaklah seorang laki-laki bersendirian dengan seorang seorang wanita (yang bukan mahramnya) melainkan syaithan yang ketiganya.” (HR.Ahmad, Tirmidzi dan Hakim, dan Hakim menshahihkannya)
3.    Kriteria keharaman ikhtilat
suatu pertemuan antara laki-laki dan peremuan baru disebut ikhtilat jika memenuhi dua kriteria secara bersamaan, yaitu :
a. adanya pertemuan (ijtima’) antara laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sama, misalnya di gerbong kereta yang yang sama, di ruang yang sama, di bus yang sama, rumah yang sama, dan seterusnya.
b. terjadi interaksi (ittishal, khilthah) antara laki-laki dan perempuan, misalnya berbicara, saling menyentuh, bersenggolan, berdesakan, dan sebagainya.
4.    Dalil-dalil yang mengharamkan ikhtilat
-  Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. ( QS: yusuf :23 )
Dan sisi pendalilannya: Bahwa tatkala terjadi ikhtilath antara isteri penguasa mesir dan nabi yusuf alaihissalam muncul darinya apa yang tersembunyi maka dia meminta darinya untuk menyetujuinya, akan tetapi Allah menyelamatkannya dengan rahmatNya maka Dia menjaganya darinya, dan itu pada firmanNya:
Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS; yusuf : 34 )
Demikianlah bila terjadi ikhtilath dengan wanita masing masing dari dua jenis memilih orang yang dia menginginkannya dari jenis lain dan mengerahkan setelah itu sarana sarana untuk mewujudkannya.
- Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Sesungguhnya Allah memerintah orang orang beriman lelaki dan wanita untuk menundukkan pandangan dan perintahnya menuntut kewajiban kemudian Dia menerangkan bahwa ini lebih bersih dan lebih suci dan syariat tidak memaafkan kecuali pandangan tanpa sengaja, Al Hakim meriwayatkan dalam al mustadrak dari ali bahwa nabi bersabda: wahai ali janganlah engkau ikuti pandangan dengan pandangan, sesungguhnya bagimu yang pertama dan tidak bagimu yang lain. Berkata Al Hakim setelah mengeluarkannya: shahih atas syarat muslim dan keduanya tidak mengeluarkannya. Dan disepakati oleh Adz Dzahabi dalam talkhishnya dan dengan maknanya beberapa hadits.
Tidaklah Allah memerintah dengan menundukkan pandangan melainkan karena pandangan kepada apa yang haram memandangnya adalah zina. Abu Hurairah meriwayatkan dari nabi bahwa beliau bersabda: kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah. Muttafaqun alaih dan lafazhnya milik muslim.
Hanyalah itu dikatakan zina karena dia bersenang senang dengan memandang kebagusan wanita dan membawa kepada masunya wanita tersebut kedalam hati orang yang memandangnya sehingga menancap didalam hati, kemudian dia berusaha untuk melakukan kekejian dengannya. Maka bila syariat melarang dari memandang kepada wanita karena membawa kepadanya mafsadah dan itu terjadi dalam ikhtilath, maka demikian pula ikhtilath itu dilarang karena sarana kepada apa yang tidak terpuji akibatnya dari bersenang senang dengan memandang dan berusaha kepada apa yang lebih buruk dari itu.

5.    Ikhtilat laki-laki dan wanita memiliki tiga keadaan :
a.    Ikhtilath wanita dengan mahramnya dari lelaki, dan ini tidak ada kesamaran tentang bolehnya.
b. Ikhtilath wanita dengan lelaki asing untuk tujuan kerusakan, dan ini tidak ada kesamaran tentang haramnya.
c. Ikhtilath wanita dengan lelaki asing di tempat tempat ilmu, toko toko, perpustakaan perpustakaan, rumah sakit rumah sakit, perayaan perayaan, dan  semisal itu, maka ini pada hakikatnya terkadang orang yang bertanya menyangka pada awal perkara bahwa itu tidak membawa kepada fitnah masing masing dari dua jenis dengan lainnya.
Dan untuk menyingkap hakikat jenis ini maka kami menjawabnya dari jalan mujmal dan mufashol:
a.    Adapun jawaban mujmal maka sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan lelaki diatas kekuatan dan kecenderungan kepada wanita dan menjadikan wanita diatas kecenderungan kepada lelaki dengan adanya kelemahan dan kelembutan. Maka bila terjadi ikhtilath timbul darinya pengaruh yang membawa kepada terwujudnya tujuan yang buruk karena nafsu itu selalu memerintah dengan yang buruk dan hawa nafsu itu membuat buta dan tuli dan setan memerintah dengan kekejian dan kemunkaran.
b.    Adapun jawaban mufashol maka syariat ini dibangun atas maksud dan sarana. Dan sarana dari suatu maksud yang menghubungkan kepadanya memiliki hukum yang sama dengannya. Maka wanita adalah tempat pemenuhan keinginan lelaki. Dan syariat menutup pintu pintu yang membawa kepada bergantungnya setiap orang dari dua jenis tersebut dengan yang lain. Dan itu nampak jelas dengan apa yang akan kami bawakan untuk anda dari dalil dalil Al Kitab dan As Sunnah.
6.    Ikhtilat yang diharamkan
Ikhtilath yang diharamkan adalah ikhtilath yang melanggar ketentuan-ketentuan Syari’ah, misalnya adalah:
a. Berduaannya (khalwat) laki-laki dan perempuan non mahram, apalagi jika disertai pandangan yang mengandung syahwat.
b.    Si perempuan tidak bisa menjaga kesopanan sesuai tuntunan Syari’ah.
c.     Main-main, bersenda gurau, dan saling bersentuhan badan.

Jika aktivitas ikhtilath mengandung aktivitas-aktivitas di atas atau yang semisalnya, maka ikhtilath tersebut hukumnya haram. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
a.    (QS. An-Nuur [24]: 30)
b.    (QS. An-Nuur [24]: 31)
c.     (QS. Al-Ahzab [33]: 53)
d.   لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
Artinya: “Seorang laki-laki tidak boleh berduaan dengan seorang perempuan, karena yang ketiga (jika mereka berduaan) adalah syaithan.” (HR. At-Tirmidzi)
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Artinya: “Wahai Asma’ (binti Abu Bakar), sesungguhnya perempuan jika telah baligh, tidak boleh kelihatan darinya kecuali ini dan ini. (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat pada wajah dan kedua tapak tangan beliau).” (HR. Abu Dawud
Fuqaha pun telah sepakat akan keharaman seorang laki-laki menyentuh perempuan asing (non mahram), kecuali laki-laki tersebut sudah tua dan tidak memiliki syahwat lagi terhadap perempuan. Yang juga dikecualikan dari keharaman ini adalah seorang dokter yang pada kondisi tertentu harus melihat dan menyentuh pasiennya, untuk menyelamatkan nyawa pasien tersebut atau untuk menghindarkannya dari penyakit yang bertambah parah.
7.    laki-laki dan perempuan dibolehkan melakukan ikhtilat, dengan 2 (dua) syarat, yaitu ;
a.    pertemuan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan itu untuk melakukan perbuatan yang dibolehkan syariah, seperti aktivitas jual beli, belajar mengajar, merawat orang sakit, pengajian di masjid, melakukan ibadah haji, dan sebagainya.
b.    aktivitas yang dilakukan itu mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Jika tidak mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan perempuan, hukumnya tetap tidak boleh. Sebagai contoh ikhtilat yang dibolehkan, adalah jual beli. Misalkan penjualnya adalah seorang perempuan, dan pembelinya adalah seorang laki-laki. Dalam kondisi seperti ini, boleh ada ikhtilat antara perempuan dan laki-laki itu, agar terjadi akad jual beli antara penjual dan pembeli. Ini berbeda dengan aktivitas yang tidak mengharuskan pertemuan laki-laki dan perempuan. Misalnya makan di restoran. Makan di restoran dapat dilakukan sendirian oleh seorang laki-laki, atau sendirian oleh seorang perempuan. Tak ada keharusan untuk terjadinya pertemuan antara laki-laki dan perempuan supaya bisa makan di restoran. Maka hukumnya tetap haram seorang laki-laki dan perempuan janjian untuk bertemu dan makan bersama di suatu restoran.[3]
c.     Perlu diperhatikan juga, di samping dua syarat di atas, tentunya para laki-laki dan perempuan wajib mematuhi hukum-hukum syariah lainnya dalam kehidupan umum, misalnya kewajiban menundukkan pandangan (ghaddhul bashar), yaitu tidak memandang aurat (QS An Nuur : 30-31), kewajiban berbusana muslimah, yaitu kerudung (QS An Nuur : 31) dan jilbab atau baju kurung terusan (QS Al Ahzaab : 59), keharaman berkhalwat (berdua-duaan dengan lain jenis) (HR Ahmad), dan sebagainya.
8.    Bahaya-bahaya ikhtilat
a.    terjadinya khalwat, yaitu laki-laki yang berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahramnya. Sabda Rasulullah SAW,”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan, karena yang ketiganya adalah syaitan.” (HR Ahmad);
b.    terjadinya pelecehan seksual, seperti persentuhan antara laki-laki dan perempuan bukan mahram, dan sebagainya. Rasulullah SAW pernah bersabda,”Kedua mata zinanya adalah memandang [yang haram]; kedua telinga zinanya adalah mendengar [yang haram], lidah zinanya adalah berbicara [yang haram], tangan zinanya adalah menyentuh [yang haram], dan kaki zinanya adalah melangkah [kepada yang haram].” (HR Muslim). Rasulullah SAW juga melarang laki-laki dan perempuan berdesak-desakan. Maka dari itu pada masa Rasulullah SAW para perempuan keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat, baru kemudian para laki-laki. (HR Bukhari, no 866 & 870).
c.     terjadinya perzinaan, yang diawali dengan ikhtilat. Imam Ibnul Qayyim pernah berkata dalam kitabnya At Thuruqul Hukmiyyah,”Ikhtilat antara para laki-laki dan perempuan, adalah sebab terjadinya banyak perbuatan keji (katsratul fawahisy) dan merajalelanya zina (intisyar az zina).”
9.    Fenomena Aktual di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instan
Ikhtilath di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi sudah merupakan perkara yang biasa dan sudah membudaya, dan hasil dari semua itu dianggap luar biasa. Karena luar biasanya, maka banyak dari umat Islam terpengaruh dan bahkan sampai tergiur yang pada akhirnya timbullah angan-angan untuk meraih yang mereka angan-angankan, merekapun mulai mencoba yang pada akhirnya terasa semakin asyik sehingga melahirkan keberanian dalam menerjang larangan-larangan Rabbnya, Na’uzu billah min zalik.Sungguh telah cukup bagi kami untuk mencantumkan beberapa point dari fatwa para ulama kita, tentang betapa bahaya dan ngerinya tentang perkara ikhtilath ini:
1.       Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Barangsiapa yang mengatakan boleh ikhtilath disekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka perbuatan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana firman-Nya: “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 10).
2.        Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi iktilath didalamnya, disebabkan karena bahaya yang besar yang akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimana pun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimana jika disamping tempat duduknya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuan itu cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangatlah sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 23).
3.       Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Adapun ikhtilath antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja atau instansi-instansi sedang mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya haram dan wajib bagi yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempat (ruangan) antara laki-laki dan perempuan. Sebab ikhtilath terdapat kerusakan yang tidak samar lagi bagi seorang pun.” (Fatawa
Hai’ah Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).
4.       Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah- berkata: “Perempuan yang keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya mereka di rumah sakit yang di dalamnya ada campur baur antara laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan didalam Islam.Seandainya ada rumah sakit khusus untuk wanita, para pekerjanya juga wanita, begitu pula pasien dan para perawatnya. Seharusnya memang negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang seperti itu, yang mana para wanita secara khusus yang mengurusinya, baik dokter, direktur, para pekerjanya dan yang semisalnya. Adapun apabila rumah sakitnya ada ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya agar bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia tetap tinggal dirumahnya.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 75).
5.       Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Bekerjanya perempuan ditempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan diantara penyebab terbesar adalah munculnya kerusakan yang disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak
menyebabkan terjadinya perzinahan.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).
10.  subhat yang memperbolehkan ikhtilat
Ada sebagian orang yang membolehkan ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) berdalih dengan hadits shahih . Di antaranya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
Abdullah bin Yusuf bercerita kepada kami, “Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa dia berkata: “Sesungguhnya dulu pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, laki-laki dan perempuan berwudhu’ secara bersama-sama.” (HR. Al-Bukhari)
Bagaimana kalian -wahai orang-orang yang mengaku ahlus sunnah- melarang manusia untuk ikhtilath? Sedangkan Al-Imam Al-Bukhari sendiri meriwayatkan hadits yang membolehkan hal tersebut?!
Untuk menanggapi ‘syubhat’ ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.    Perlunya mempelajari dasar-dasar ajaran islam yang benar secara global, sehingga ketika syubhat menyerang, seorang muslim tidak terlalu panik menghadapinya. Kembalikan saja kepada kaidah umum yang telah dipelajari dan diketahui walau tidak memahami penjelasannya secara terperinci. Dalam hal ini, penulis sangat menyarankan para pembaca untuk mengulang kembali faidah yang tertuang dalam kitab “Kasyfu Asy-Syubuhat” karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al-Hanbali rahimahullaah
2.    Pentingnya mengkaitkan antara hadits dengan judul bab di mana hadits itu diletakkan oleh penyusunnya. Tidak mengambil teks hadits itu kemudian dialihbahasakan begitu saja, terlebih lagi digunakan sebagai dalih untuk menghalalkan sesuatu yang telah disepakati keharamannya. Seperti hadits tersebut di atas jika dikaitkan dengan judul bab tempat hadits itu diletakkan oleh penyusunnya, maka sirnalah kerancuan atau syubhat yang dimaksud. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini di dalam kitab tentang Wudhu’ bab “Bolehnya seorang laki-laki berwudhu’ bersama istrinya” (4/43, 193). Ulama kita menjelaskan bahwa fiqh atau madzhab Al-Imam Al-Bukhari dapat dilihat dari judul bab (yang ia buat). Dengan demikian terlihatlah dengan jelas bahwa Al-Imam Al-Bukhari sama sekali tidak mendukung bolehnya ikhtilath. Lalu apa hubungannya antara hadits dengan judul bab? Mengapa Al-Imam Al-Bukhari bisa mengambil kesimpulan dengan membuat judul yang lebih khusus cakupannya berdalil dengan hadits yang bersifat umum?
Dalam bab yang sama terdapat banyak hadits yang senada dengan berbagai macam jalur periwayatannya. Al-Imam Al-Bukhari dikenal sebagai orang yang sangat selektif dan super ketat dalam menentukan sebuah hadits itu shahih. Di sisi yang lain beliau dituntut untuk menyusun sebuah kitab yang ringkas tetapi menyeluruh yang berisi hadits-hadits yang shahih saja. Karena dua faktor inilah maka mungkin -wallaahu a’lam- beliau hanya menurunkan satu hadits saja dalam bab tersebut, yaitu hadits mauquf (hadits Ibnu ‘Umar) yang berstatus marfu‘. Bahkan hadits ini merupakan hadits yang paling shahih dalam bab ini. Di samping jalur periwayatannya dikenal sebagai ‘silsilah adz dzahab’ (jalur emas) -yaitu dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar-, juga yang meriwayatkannya adalah Al-Bukhari (atau bisa disebut juga sebagai “jalur emas” yang paling shahih).
Di antara sekian banyak riwayat, ada sebuah riwayat yang menegaskan bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma melihat mereka (para sahabat) bersama istri-istri mereka berwudhu’ bersama-sama dalam satu bejana yang sama. Riwayat ini shahih diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya. Lalu mari sejenak kita berfikir, mungkinkah seluruh para sahabat bersama istri mereka berwudhu’ secara bersama-sama dalam satu bejana (إناء) yang dikenal kala itu berukuran relatif kecil? Ataukah maksud Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaadalah masing-masing sahabat bersama istrinya berwudhu’ bersama-sama, kemudian sahabat yang lain berwudhu’ bersama istrinya, lalu sahabat yang lain lagi dan seterusnya? Tentu yang terakhir disebutkan lebih logis dan lebih mendekati kebenaran. Inilah yang dipilih oleh Al-Imam Al-Bukhari yang sekaligus menunjukkan kejelian dan kecerdasan Al-Imam Al-Bukhari dalam beristidlal dan menempatkan hadits-hadits shahih yang sesuai dengan syarat-syaratnya pada judul bab (tarjamah) yang merupakan cerminan fiqh dan madzhab beliau dalam suatu masalah tertentu.
11. Kitab-kitab yang membahas hukum ikhtilat
1.       kitab Khuthurah Al Ikhtilath (Bahaya Ikhtlath), karya Syaikh Nada Abu Ahmad;
2.       kitab Al Ikhtilath Ashlus Syarr fi Dimaar Al Umam wal Usar (Ikhtilat Sumber Keburukan bagi Kehancuran Berbagai Umat dan Keluarga), karya Syaikh Abu Nashr Al Imam,
3.       kitab Al Ikhtilath wa Khatruhu ‘Alal Fardi wal Mujtama’ (Ikhtilat : Bahayanya Bagi Individu dan Masyarakat), karya Syaikh Nashr Ahmad As Suhaji, dan sebagainya.




[1]Lihat Lisanul ‘Arab 9/161-162
[2] Said Al Qahthani, Al Ikhtilat, hlm. 7
[3] Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhamul Ijtima`i fil Islam, hlm. 37).

1 komentar:

  1. Bagaimana dengan 2 diatas motor antar laki2 dan perempuan apakah itu ikhtilath,dan hal itu di jadi kan sebuah pekerjaan,?

    BalasHapus